Jumat, 25 Januari 2013


KERE MUNGGAH BALE

“Aja lali asal-usulmu ya le, menawa ana rejeki ya sing gemi, setiti lan kudu ngati-ati!”
(Jangan lupa asal-usulmu ya nak, apabila mendapatkan rejeki ya jangan boros, gunakan juga secara teliti serta hati-hati)
Kata-kata diatas terakhir saya dengar saat saya mohon pamit juga minta do’a restu kepada Mbah Uti (nenek) beberapa tahun yang lalu, yaitu tepatnya tatkala saya harus meninggalkan kampung halaman tercinta demi mencari penghidupan yang lain, bekerja mencari nafkah (bukan mencari pengalaman lho).
Kelihatannya hanya berujud potongan-potongan kata, namun apabila saya dapat cerna sungguh sangat bermakna. Dari kalimat tersebut saya pun selanjutnya bisa memaknai satu kata lain yang sedikit banyak masih ada hubungannya, “kere munggah bale”.
Kere munggah bale dapat diasumsikan sebagai satu bentuk kekagetan yang luar biasa dari orang yang awalnya bukan siapa-siapa juga bukan apa-apa namun entah itu karena satu keberhasilan atau mungkin satu garis nasib akhirnya mampu menjadi orang yang sering bisa berkata “Sapa Sira – Sapa Ingsun!” (siapa kamu siapa saya) boleh percaya namun tak dipaksakan untuk mempercayainya bahwa Tuhan pun memberikan satu kelebihan yang sangat-sangat jauh padanannya bagi mereka-mereka yang berhasil tersebut, berbanding terbalik dari keadaan semula. Sementara yang bisa menjadikan kekagetan itu bisa berujud harta, pangkat ataupun kedudukan.
Sudah menjadi bagian dari hukum alam apabila manusia ini hidupnya tak mau hanya sekedar jalan ditempat, manusia juga termasuk makhluk dinamis dan memang sudah kodratnya bahwa kita ini tercipta sebagai manusia yang derajatnya ditempatkan yang paling tinggi diantara makhluk lain, manusia berotak, otak mampu digunakan untuk berpikir serta diberikan hati agar kita manusia ini juga memiliki indra perasa, mempunyai nafsu, memiliki keinginan serta hasrat.

Jaman sudah berubah, bisa dikatakan bahwa sudah benar kalau tak ikut ngedan maka kita ra bakal keduman. Mungkin inilah kata yang tepat buat kita menilai keadaan sekarang ini. Banyak yang dapat kita lihat bukan saja dari satu kacamata pandang, ada yang berani bersumpah (entah itu sumpah manusia atau sumpah buaya), bahkan tanpa tedheng aling-aling menggunakan nama keluarga sebagai topengnya.
Ada lagi yang lainnya, karena sudah terlalu suntuk dan tersudut dengan tuntutan yang ada tentang bentuk pertanggungjawaban sewaktu memegang satu jabatan akhirnya pun menunjukkan satu pengakuan tentang riwayat jatidiri yang hanya berasal dari rakyat kecil dan orang tak punya.
Menyedihkan memang, inikah potret kita..? Mau merasa kalau telah mencapai titik nadir..? Nggak ada istilah “bisa rumangsa” (dapat merasa), tak tersedia pepatah “sapa salah bakal seleh”
Satu bentuk tentang draftkere munggah bale telah mampu kita saksikan karena setelah finishing langsung diadakan exposisi tentang hasil karya itu. Bak seorang maestro tingkat tinggi lulusan Sorbone, mereka sangat percaya diri sekali dalam menjalankan peran itu. Hebat memang di negeri yang penuh seniman-seniwati pelakon birokrasi ini, hemmm…
Semoga kita semua yang berada diluar panggung itu masih diberikan kesadaran untuk dapat terus dan selalu mengingat kata-kata paling pertama ditulisan awal ini. Aja lali asal-usulmu (jangan lupa asal usulmu). Selanjutnya kita pun mampu menerapkannya dalam menjalani kehidupan ini, entah itu kita sedang berperan susah sebagai pembantu rumah tangga atau saat nikmat melakoni seni peran sebagai juragan muda pada sebuah drama.
Bukankah benar jika dunia ini tak lain dan tak bukan adalah sebuah panggung sandiwara..? Akan lebih baik apabila kita tahu tema, plot, dan alur ceritanya. Syukur-syukur kita pun bisa sekaligus menjadikan diri sebagai sutradaranya

Tidak ada komentar: